CITARUM: PRIORITASKAN DAERAH BERMASALAH
Foto: WARGA berada di seberang mencari pasir di pinggir aliran Sungai Citarum yang melintasi kawasan Kecamatan Margahayu dan Katapang, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu. Membenahi Sungai Citarum bukanlah pekerjaan instan yang selesai dalam semalam. Tumpang tindih kewenangan, kurangnya koordinasi juga sering dituding menjadi biang masalah dalam upaya penyelesaian Sungai Citarum. (photo oleh Ng Swan Ti, doc Cita-Citarum).
PENGALAMAN bekerja di program terpadu Wilayah Sungai Citarum menunjukkan, semua pihak, baik pemerintah maupun nonpemerintah, menurut porsinya masing-masing, sudah berkontribusi positif untuk pemulihan Sungai Citarum. Bukan rahasia lagi jika sudah triliunan rupiah digelontorkan untuk pemulihan Sungai Citarum, meliputi upaya fisik dan nonfisik, tetapi hasilnya sama-sama belum optimal.
Pembangunan fisik seperti normalisasi sungai, pengerukan sedimentasi masif, dan perbaikan tanggul ternyata belum mampu mengatasi banjir Citarum di wilayah langganan seperti Dayeuhkolot dan Baleendah di Bandung Selatan. Demikian pula dengan upaya perbaikan nonfisik seperti perbaikan lahan kritis di wilayah hulu sungai, sosialisasi, dan pendidikan lingkungan, baik oleh pihak pemerintah maupun kelompok masyarakat di Sungai Citarum, seperti pelatihan dan pendampingan 150 dari 175 desa di hulu Citarum oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun permasalahan di Sungai Citarum masih jauh dari tuntas.
FOKUS, BERANI, DAN TEGAS
Siapa pun tahu, membenahi Sungai Citarum bukanlah pekerjaan instan yang selesai dalam semalam. Tumpang tindih kewenangan, kurangnya koordinasi juga sering dituding menjadi biang masalah dalam upaya penyelesaian Sungai Citarum, di samping pemanfaatan sumber daya yang belum tepat sasaran.
Secara sederhana, pemulihan Sungai Citarum dapat terbagi pada tiga, yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang. Hal ini berlaku pada hampir semua bidang permasalahan di Sungai Citarum. Hal lain yang mutlak diperlukan jika ingin berhasil memulihkah Sungai Citarum, yaitu: prioritas, fokus, pentahapan pekerjaan, monitoring, dan evaluasi berkala, serta yang paling sangat dibutuhkan: keberanian dan ketegasan.
Sebagai contoh, keberanian dan ketegasan adalah cara untuk mengatasi masalah limbah industri. Selain sudah ada datanya dan regulasi hukum yang mendukung, maka hanya perhr keberanian pemerintah untuk bertindak. Para pemimpin yang bertumpu pada popularitas biasanya akan menghindari cara ini, karena khawatir menjadi tidak populer dan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan banyak keributan.
Meski agak aneh jika melihat pembuang limbah yang tampaknya tak gentar menghadapi pemerintah dan keluhan masyarakat yang terkena dampak limbah. Jika data dan upaya persuasif yang dilakukan tak kunjung berhasil, maka pilihan berikutnya hanya keberanian untuk bertindak memberikan sangsi tegas dan efek jera pada para pelanggarnya. Pertanyaannya, beranikah pemerintah?
PRIORITAS: KABUPATEN BANDUNG
Dari 13 kabupaten dan kota yang dilewati aliran Sungai Citarum di Provinsi Jawa Barat, maka berbagai studi dan data lapangan menunjukkan, wilayah yang paling perlu mendapatkan perhatian adalah wilayah Kabupaten Bandung.
Di Kabupaten Bandung ini kita bisa melihat miniatur permasalahan dan kompleksitas di Sungai Citarum, mulai dari permasalahan tata ruang, alih fungsi lahan, lahan kritis, pertanian tidak ramah lingkungan, limbah ternak, domestik dan industri, hingga banjir terdapat di sini.
Mengerucut lagi pada wilayahnya, maka dua kecamatan prioritas terkait tata ruang dan limbah ada di Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Majalaya. Yang pertama karena permasalahan lahan kritis, alih fungsi lahan, dan kotoran ternak. Yang kedua karena ada sekitar 1.500 industri yang secara langsung dan tidak langsung membuang limbah ke sungai (Data BPLH Kabupaten Bandung, 2012). Karenanya tidak berlebihan jika Kabupaten Bandung adalah wilayah kunci untuk pembenahan Sungai Citarum.
Untuk pembersihan sungai, di tingkat kecamatan bisa mendata seluruh RT dan RW yang berada di aliran sungai dan anak sungai, memetakan titik-titik sampah, mengidentifikasi kebutuhan untuk penam-pungan-penampungan sampah di RT/RW, menghitung kemampuan truk pengangkut sampah dan petugas kebersihan, mengalokasikan dana dan sumber daya yang diperlukan. Masyarakat dapat dilibatkan sebagai tenaga-tenaga harian atau tenaga kebersihan, juga diberdayakan untuk upaya daur ulang bank sampah, misalnya. Hanya butuh kemauan untuk mengalokasikannya dalam anggaran daerah.
Pelaporan dan pemantauan bisa dilakukan melalui skema sederhana. Bisa mengikuti budaya setempat atau menggunakan teknologi sederhana di telefon genggam yang dapat memetakan permasalahan secara real time, transparan, dan menghubungkannya dengan pihak yang bertanggung jawab. Pemerintah bisa mengawasi langsung, merumuskan sanksi-sanksi mulai dari teguran dan pencopotan jabatan. Ini hanya sebuah contoh kecil yang fokus pada satu permasalahan di lokus dan skala yang sangat kecil, yang seharusnya sangat mudah dilakukan, tapi nyatanya toh belum dilakukan.
Tulisan ini berusaha menggugat hal-hal yang mungkin merupakan zona nyaman para penggiat di Sungai Citarum, baik pemerintah maupun aktivis-aktivis lingkungan yang kerap menjadi bahan perbincangan tak habis-habis jika diikuti dalam forum-forum diskusi, sebagai bahan refleksi bersama. Jika hal-hal besar, kompleks, canggih, dan mahal belum bisa memulihkan Sungai Citarum, bisa jadi kini saatnya kembali pada hal sederhana dan mendasar untuk memulihkannya.
(Artikel ini ditulis oleh: Diella Dachlan, Mantan Konsultan Program Pemulihan Terpadu di Wilayah Sungai Citarum. Tulisan ini merupakan opini pribadi)***
Sumber : Pikiran Rakyat Edisi 30 Mei 2016 Halaman 12
https://tirto.id/20160530-34/citarum-prioritaskan-daerah-bermasalah-211069