Kopi Tak Lagi Terasa Pahit

Bagi Daud Yusuf (35 tahun), kini kopi tidak hanya merupakan minuman yang nikmat diseruput, melainkan juga pengingat akan proses panjang sebuah kegigihan. Tanaman kopi yang terlihat ditanam di daerah perbukitan yang menghampar di Pengalengan tak luput dari cerita awal keterlibatannya dalam memperkenalkan kopi di Pengalengan.

Sejak pindah ke desa Kubangsari, Pengalengan tahun 1997, Daud  memperhatikan bahwa perambahan hutan semakin marak karena adanya krisis ekonomi nasional. Dengan perkenalannya dengan petugas-petugas lapangan di Perhutani, Daud pun mendengar keluhan tentang kerugian akibat perambahan hutan. “Dari pencurian kayu, rekan-rekan petugas Perhutani menaksir kerugian dapat mencapai Rp 18 juta perhari”. Jumlah petugas pengamanan hutan tidak sebanding dengan jumlah perambah.

Lahan hutan dirambah karena masyarakat selain mengambil kayu, juga akan menggunakan lahan itu untuk bertani, menanam sayuran. “Pengalengan ini adalah basis pertanian hortikultura yang relatif pertanian jangka pendek. Tanaman seperti tomat, wortel dan kentang tidak membutuhkan hutan, karena membutuhkan lahan yang terang” Kata Daud menjelaskan pengamatan dan analisanya saat itu.

Selain masalah legalitas lahan, beberapa hal ditemukan Daud selama mencermati lingkungannya, diantaranya, budidaya sayuran yang dilakukan petani selama ini bersifat bongkar pasang atau selalu mengulang pola tanam-panen dalam waktu relatif singkat.

Dengan demikian, selain benih, obat-obatan dan pupuk menjadi lebih sering digunakan. Padahal, penggunaan zat kimia yang berkelanjutan akan merusak hara lingkungan dan menjadikannya tandus. Larikan tanam ke arah bawah atau pemotongan kontur lahan juga mempercepat erosi unsur hara.  Daud juga mengemukakan bahwa menanam sayur di kawasan hutan kurang baik hasilnya, karena sayuran membutuhkan sinar matahari secara langsung. Akibatnya, banyak petani menebangi pohon agar tanaman sayurnya tersinari matahari. Selain rentan terhadap berbagai hama dan penyakit akibat perubahan iklim, hasil produksi sayuran harus segera dipasarkan karena sifatnya yang cepat busuk. Lebih dari itu, pengolahan tanah yang intensif akan mempengaruhi konservasi lingkungan yang selama ini dilakukan Perhutani. 

 MG 1110Dari hasil pengamatannya, Daud mulai mencari referensi, baik literatur maupun melalui diskusi-diskusi dengan orang-orang yang ditemuinya. Dari berbagai referensi tersebut, Daud sampai pada kesimpulan bahwa kopi merupakan tanaman yang sepertinya cocok untuk dikembangkan di Pengalengan.
Namun merubah kebiasaan masyarakat yang sudah turun temurun dari petani sayur menjadi petani kopi jelas bukan perkara mudah. “Teman dan kerabat saya sendiri menyebut saya gila” ujar pria kelahiran Tasikmalaya itu mengenang. Pengetahuan tentang kopi juga ia dapatkan dari Ade Wahyar, dosen IPB yang dikenal sebagai “dokter kopi” di Indonesia. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang kopi, Daud juga sampai ikut pelatihan dan studi banding hingga ke Bali dan Sulawesi.

Daud juga mulai aktif sebagai fasilitator pendamping masyarakat. “Pada tahun 1997-1999, kami hanya dapat membuat kajian partisipatif masyarakat (Participatory Rural Appraisal-PRA). Ini untuk menggali apa yang menjadi harapan masyarakat dan pemerintah”. Menurut kesimpulan Daud, harus adanya sinergi antara pemerintah dalam hal ini Perhutani dan masyarakat untuk melestarikan hutan, sekaligus ada nilai ekonomi yang dapat dikembangkan dari upaya bersama itu.

Dengan demikian, selain benih, obat-obatan dan pupuk menjadi lebih sering digunakan. Padahal, penggunaan zat kimia yang berkelanjutan akan merusak hara lingkungan dan menjadikannya tandus. Larikan tanam ke arah bawah atau pemotongan kontur lahan juga mempercepat erosi unsur hara.  Daud juga mengemukakan bahwa menanam sayur di kawasan hutan kurang baik hasilnya, karena sayuran membutuhkan sinar matahari secara langsung. Akibatnya, banyak petani menebangi pohon agar tanaman sayurnya tersinari matahari. Selain rentan terhadap berbagai hama dan penyakit akibat perubahan iklim, hasil produksi sayuran harus segera dipasarkan karena sifatnya yang cepat busuk. Lebih dari itu, pengolahan tanah yang intensif akan mempengaruhi konservasi lingkungan yang selama ini dilakukan Perhutani. 

Dari hasil pengamatannya, Daud mulai mencari referensi, baik literatur maupun melalui diskusi-diskusi dengan orang-orang yang ditemuinya. Dari berbagai referensi tersebut, Daud sampai pada kesimpulan bahwa kopi merupakan tanaman yang sepertinya cocok untuk dikembangkan di Pengalengan.
Namun merubah kebiasaan masyarakat yang sudah turun temurun dari petani sayur menjadi petani kopi jelas bukan perkara mudah. “Teman dan kerabat saya sendiri menyebut saya gila” ujar pria kelahiran Tasikmalaya itu mengenang. Pengetahuan tentang kopi juga ia dapatkan dari Ade Wahyar, dosen IPB yang dikenal sebagai “dokter kopi” di Indonesia. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang kopi, Daud juga sampai ikut pelatihan dan studi banding hingga ke Bali dan Sulawesi.

Daud juga mulai aktif sebagai fasilitator pendamping masyarakat. “Pada tahun 1997-1999, kami hanya dapat membuat kajian partisipatif masyarakat (Participatory Rural Appraisal-PRA). Ini untuk menggali apa yang menjadi harapan masyarakat dan pemerintah”. Menurut kesimpulan Daud, harus adanya sinergi antara pemerintah dalam hal ini Perhutani dan masyarakat untuk melestarikan hutan, sekaligus ada nilai ekonomi yang dapat dikembangkan dari upaya bersama itu.

Sebagai langkah awal, Daud mencoba masuk melalui kelompok tani yang ada di daerahnya. Tak jarang ia harus turun langsung melakukan pendekatan dari pintu ke pintu, dari keluarga satu ke keluarga lain.

Dalam setiap pertemuan Daud selalu  menyampaikan panjang lebar tentang manfaat dan keuntungan budidaya kopi. Hasilnya? “Dari 98 orang yang tergabung dalam kelompok tani, hanya tiga orang yang memberi respon” jelasnya tertawa geli mengenang kejadian itu

“Mengapa harus tanam kopi?, seperti orang gila saja,  demikian kata orang-orang yang saya temui dan ajak untuk mulai menanam kopi. Saya bilang kita kan belum tahu bakal berhasil atau tidak, kenapa tidak kita coba saja dulu ?” Cerita Daud mengenang masa-masa awal penanaman kopi. Lahan pekarangan di belakang rumah Daud yang luasnya  kurang dari seperempat hektar itu juga ia jadikan lahan percontohan budidaya kopi.

Meskipun hanya sedikit petani yang ikut serta dalam penanaman kopi perdana pada akhir tahun 1999, panen pertama kopi terjadi pada tahun 2003 dengan hasil kopi sebanyak 41 ton. Dewan Pengawas Perhutani ikut juga hadir dalam panen raya itu.

Sejak itu, luas tanaman kopi di Pengalengan yang dikelola bersama oleh Perhutani dan masyarakat melalui program PHBM ini terus bertambah.• Hingga akhir tahun 2008, luas areal tanaman kopi di Kabupaten Bandung mencapai 4.404,5 hektar dan tersebar di 24 kecamatan (Pikiran Rakyat, 24 Mei 2009).
Dalam program PHBM ini kegiatannya juga meliputi sosialisasi masyarakat, pendampingan, termasuk juga mengatur hak dan kewajiban masyarakat serta bagi hasil.  Sekarang pabrik kopi tumbuh di Pengalengan. Dari tidak adanya pabrik pengolahan kopi, kini ada 5 pabrik kopi.

Tanaman kopi pun tidak hanya ditanam di kawasan perhutani, tapi juga di lahan masyarakat dan PLN. Jika setiap hektar dapat ditanami kopi sebanyak 2,000 hingga 2,500 batang kopi, maka jika panen dapat menghasilkan sekitar 5 ton kopi gelondongan.  Harga jual kopi gelondongan rata-rata adalah sekitar Rp 3.000,00/kg. Sedangkan harga kopi gabah Rp 9.000,00/ kg dan kopi beras Rp 18.000,00/kg. Petani juga bisa memperoleh tambahan pendapatan dari pekerjaan sambilan lain, karena masih banyak waktu luang dimiliki, misalnya beternak, menjadi tukang ojek, usaha pupuk organik dan lain sebagainya.
Daud kini mulai bisa bernafas lega. Kegilaannya berbuah manis. Sekitar 3.000 kepala keluarga yang tersebar di Bandung Selatan memetik manfaat menanam kopi dengan lahan garapan setengah hingga satu hektar per orang.

Kegigihannya berbuah manis. Tahun 2004 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) binaannya menjadi juara III dan pada tahun 2006 menduduki peringkat I dalam ajang penghargaan konservasi dan reboisasi tingkat nasional. Daud pun dinobatkan menjadi Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) terbaik di lingkungan Perhutani Jawa Barat dan Banten tahun 2007. Bahkan, lokasi lahan di Kubang Sari seluas 54,51 ha kini dijadikan sebagai lahan  percontohan. 
“Sekarang banyak orang yang datang ke sini baik untuk berkunjung atau studi banding, dari petani hingga menteri. Ini adalah mutiara kecil yang harus kita kembangkan. Kopinya bagus, hutannya mulai bagus kembali dan masyarakat secara ekonomis juga terbantu.” Kata Daud tidak berusaha menutup kegembiraannya. Jerih payah Daud Yusuf, dapat mengubah pahitnya kopi menjadi manis. (Diella Dachlan/Photo: Veronica Wijaya/Dok.Cita-Citarum)


Download: Kopi Tak Lagi Terasa Pahit (PDF, 1.2 MB)
Untuk Artikel dan Laporan lengkap, silahkan download: Dari Lahan Kritis Menjadi Lahan Ekonomis, PDF 16 MB