Anang Maghfur, Petani Merangkap Fotografer Hajatan
“Bapak, pelatihan itu tujuannya hanya membuka wawasan. Sekolah sebenarnya ya di sawah. Jadi kalau Bapak menemukan hal-hal baru,
baik permasalahan atau pemecahannya, jangan lupa kami diberitahui.
Kata Pak Anang Maghfur (34 tahun), Pelatih dan Konsultan Pendamping SRI, di depan anggota Gapoktan Mitra Tani Desa Girimukti.
Hari itu ketika ditemui di lapangan, Pak Anang, demikian panggilan akrabnya, sibuk memberi pengarahan kepada petani-petani yang ditemuinya sepanjang jalan. Tak jarang, Pak Anang pada akhirnya ikut nyemplung langsung ke sawah. Yang agak repot bagi beliau adalah memastikan bahwa kamera yang selalu tersandang di bahunya tidak ikut nyemplung ke sawah.
“Kamera ini juga merupakan bajak dan cangkul yang lain bagi saya, alias mata pencaharian juga” Katanya sambil menunjukkan kameranya dengan bangga. Jika sedang tidak mengajar dan menjadi pelatih untuk Padi SRI, atau tidak sedang berkeliling nusantara ‘menularkan’ ilmu padi yang didapatkannya, atau mengurus sawahnya di desa Cilame, Pak Anang ini juga merupakan fotografer pada acara-acara hajatan seperti perkawinan, wisuda, arisan keluarga dan lain sebagainya.
Awalnya Pak Anang yang aslinya berasal dari Kediri Jawa Timur, merupakan teknisi instalasi listrik yang mencoba mengadu nasib ke Jakarta pada tahun 1995. Tidak kunjung mendapatkan pekerjaan yang sesuai, beliau memutuskan banting setir dengan bekerja sebagai operator cetak foto di sebuah studio foto di Bandung. Untuk menutup kebutuhan sehari-harinya, di sore hingga malam hari Pak Anang membuka warung tenda Pecel Lele, dan juga Pisang Ijo khas Makassar. “Pokoknya apa saja yang penting bisa hidup dan halal” Kisahnya mengenang. Sepuluh tahun dengan profesi rangkap, membuatnya memiliki satu profesi tambahan lagi yaitu fotografer dari hasil belajar langsung di lapangan selama menjadi operator cetak foto.
Pertanian sebenarnya bukan hal baru bagi Pak Anang, karena di Kediri ayahnya memiliki sawah dan ladang. Namun mengetahui jatuh bangunnya menjadi seorang petani, Pak Anang tidak tertarik memiliki profesi serupa. Hingga pada tahun 2006, Pak Anang mengikuti pelatihan SRI Organik. Pelatihan itu diselenggarakan oleh BBWS Citarum. Pak Anang dan rekan-rekan sesame anggota pelatihan malah sempat ikut “kuliah” di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (UNPAD) di Jatinangor.
“Saya melihat metode SRI Organik ini berbeda dengan metode yang digunakan pada umumnya. Banyak hal positif yang membuat saya tertarik untuk mendalaminya, misalnya harga beras yang relatif tinggi sehingga dapat menguntungkan petani, penggunaan pupuk alami dan pestisida alami seperti tumbuhan dan hewan, panen yang lebih sering dan banyak, hal-hal ini yang membuat saya ingin mendalaminya” Kata Pak Anang menjelaskan. Yang tak kalah menariknya, pola tanam organik ini juga sangat ramah lingkungan dan dapat berkesinambungan dari hulu hingga hilir.
“Pupuk kompos yang dipakai dapat menjadi salah satu kesempatan usaha lainnya untuk dibina, sehingga petani dapat membuat usaha pupuk kompos atau malah dengan pupuk kandang. Tanah juga tetap sehat dan tidak mudah erosi” jelasnya dengan bersemangat. Menurut Pak Anang, metode SRI ini juga membutuhkan lebih sedikit air. Masa tanamnya relatif lebih singkat yaitu 8 hari. Bandingkan dengan metode biasa yang memakan waktu sekitar 25 hari.
Keterlibatan Pak Anang dengan SRI tidak berhenti hingga disitu. Memutuskan menambah satu profesi lagi yaitu menjadi petani seperti ayahnya, karena keuletan dan semangatnya, Pak Anang diminta oleh sebuah konsultan pendamping pertanian untuk menjadi pelatih dan pendamping SRI. Oleh BBWS, Pak Anang juga aktif terlibat dalam pendampingan-pendampingan petani, khususnya di wilayah-wilayah binaan BBWS di seputaran Jawa Barat.
“Kekurangan SRI ini adalah metode ini relatif masih baru, hingga banyak petani yang ragu-ragu menerapkannya” Kata Pak Anang. Biasanya setelah melihat para tetangga yang sudah menanam dengan metode ini dan berhasil, baru para petani tetangganya ikut tertarik mencoba. “Metode SRI ini juga membutuhkan ketelitian dan keuletan para petani. Penanamannya pun tidak boleh sembarangan.
Misalnya harus mengukur jarak tanam (minimal 25 cm x 25 cm), menggunakan pupuk organik yang seringkali harus diolah sendiri. Jadi secara tidak langsung, metode SRI ikut mencerdaskan petani” Menjadi pelatih dan pendamping juga membuka sebuah kesempatan baru bagi Pak Anang untuk menjelajahi nusantara. Dari Jawa Barat merambah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu ke Aceh, Jambi, Palembang hingga ke Kalimantan. “Petani-petani Indonesia tidak kalah hebat lho. Banyak dari mereka yang selain gigih juga kreatif. Mereka hanya perlu pendampingan dan motivasi.” Ceritanya tanpa menutupi rasa bangganya.
Baru-baru ini Pak Anang menemukan bahwa di salah satu desa dampingannya dapat mengembangkan bibit padi hitam dan hijau. Beliau menunjukkan contoh-contoh padi dan beras organik yang ada padanya. “Yang ini sudah memperoleh sertifikat internasional sehingga di beberapa daerah seperti Tasikmalaya malah sudah bisa ekspor ke Amerika. Sementara di banyak tempat lain, berasnya sudah habis untuk konsumsi sendiri dan di daerahnya”.
Menjalani profesi rangkap membuat semangat dan motivasi Pak Anang terus bertambah. Oleh rekan-rekannya beliau kini didaulat menjadi Wakil Ketua Forum Komunikasi Petani SRI yang masih dalam proses pembentukan. “Memiliki forum komunikasi akan membuat para anggotanya dapat saling berbagi dan belajar bersama. Dan juga semoga akan banyak inovasi-inovasi baru yang bisa lahir dari forum seperti ini” katanya optimis.
Tak menutup kemungkinan, dengan sistem pertanian modern, akan membuat kaum muda tertarik untuk menekuni pertanian. Atau jika dalam konteks desa, daripada pergi meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di kota, para pemuda bisa tetap mencari nafkah di desanya sekaligus mengembangkan potensi desanya melalui pertanian. (Diella Dachlan/Photo: Veronica Wijaya/Dok.Cita-Citarum)
Download: Anang Maghfur Petani Merangkap Fotografer Hajatan (PDF 600 KB)
Download: Cerita dan Foto SRI di Desa Girimukti (PDF, 4.3 MB)