MIMPI MEWUJUDKAN CITARUM YANG LESTARI
Udara yang cukup dingin yang disertai kabut tipis dan hujan gerimis tidak menjadi halangan Pak Nandang meninjau lokasi penanaman tanaman konservasi di kawasan Desa Tarumajaya. Lokasinya berbatasan tepat dengan kebun teh PT. PP London Sumatera Indonesia – Kertasarie Estate atau yang lebih dikenal dengan Lonsum, salah satu perusahan pengelolah teh yang masih bertahan hingga kini. Wilayah Kecamatan Kertasari memang merupakan kawasan dataran tinggi dengan rata-rata berada di ketinggian 800 s/d 1.800 mdpl dengan bentukan topografi datar sampai berombak dengan dominasi kawasan berbukit sampai bergunung mencapai 75%. Dengan iklim pegunungan dan didukung dengan kondisi morfologi tanah yang subur, kawasan Kecamatan Kertasari memang sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian dataran tinggi.
Sayangnya pengembangan kegiatan ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi kelerengan yang ada. Gabungan antara kondisi topografi dan pengelolaan yang tidak sesuai berakibat pada terjadinya longsor dan erosi di wilayah ini.
Foto: Salah satu kebun teh yang dikelola P.T PP London Sumatera yang berlokasi di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.
Pemandangan yang sangat berbeda sangat terlihat di kawasan ini. Hamparan luas kebun teh yang diselingi beberapa tanaman pinus tampak kontras dengan pemandangan hamparan lereng yang ditanami tanaman sayuran. Perkebunan teh ini masih bisa dipertahankan dengan baik karena masih ada unit bisnis yang masih berjalan yang mampu menyerap tenaga kerja. Tidak jarang, konflik kepentingan penggunaan lahan sering terjadi antara pengelola kebun teh dan masyarakat petani.
Nandang Rusmana adalah Ketua Kelompok Giri Tani di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Sambil meninjau beberapa jenis tanaman konservasi yang ditanam anggota kelompoknya, ia juga mengamati beberapa tanaman yang mati atau pertumbuhannya kurang bagus. “Yang ini perlu diganti, kelompok kami sudah menyiapkan bibit penggantinya”, sambil menunjuk anak pohon yang layu dan tampak mengering. Beberapa jenis tanaman konservasi yang dipilih anggota kelompok Giri Tani diantaranya adalah Kopi, Eucalyptus, dan Alpukat. Total lahan untuk kegiatan konservasi di Desa Tarumajaya seluas 20 Ha, lahannya merupakan lahan milik desa yang dikelola oleh masyarakat setempat melalui kesepakatan dengan pihak Desa Tarumajaya. Lokasi tepatnya ada di Kampung Goha I dan Kampung Goha II. “Konservasi ini harapannya menjadi jalan tengah dari permasalahan konflik lahan yang kerap terjadi”, kata Nandang sambil menunjukkan batas-batas pengelolaan lahan.
Kegiatan konservai lahan terpadu ini sudah dimulai sejak permulaan tahun 2015, “Awalnya, bersama dengan kelompok tani lainnya kami mengikuti sosialisasi mengenai kegiatan konservasi di tingkat provinsi”, papar Nandang. “Selang beberapa waktu kemudian, staff dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung memberikan informasi bahwa kelompok kami terpilih untuk mengikuti kegiatan ini,” imbuhnya. Selain kelompok Giri Tani, untuk wilayah Kecamatan Kertasari juga melibatkan Kelompok Raksa Bumi di Desa Cikembang. Total lahan yang diterapkan kegiatan konservasi juga mencapai luasan 20 Ha. Lahan ini milik warga dan lokasinya terpisah-pisah sehingga membutuhkan waktu jika ingin memonitoring kegiatannya.
“Untuk mencari lokasi seluas 20 Ha di Kertasari bukanlah hal yang mudah”, ujar Budi Darmawan Surahman (39) Ketua Kelompok Raksa Bumi, “Jadi lokasinya berpencar”, tuturnya. Lokasi kegiatan konservasi di Desa Cikembang melingkupi dua kampung, itu pun terpecah lagi di beberapa blok, lokasi pertama ada di Kampung Plered (terdiri dari Blok Cirawayan dan Blok Hong), sedangkan lokasi ke dua berada di Kampung Buka Tanah (terdiri atas Blok Kebon Awi dan Stopan).
Foto: “Masyarakat petani sangat mendukung upaya-upaya konservasi untuk mengembalikan kelestarian Sungai Citarum, namun bagaimana agar mereka tidak kehilangan pendapatan juga harus dicari solusinya” ujar Nandang dan H. Qomar sepakat.
Baik kelompok Tani Giri Tani maupun Raksa Bumi telah melakukan kegiatan yang sama sesuai dengan arahan dan syarat teknis yang diberikan oleh Kementerian Pertanian. “Kami bertekad bisa mengembalikan Kertasari menjadi Kertasari yang lestari seperti dulu lagi”, tegas Nandang yang melihat kegiatan ini sebagai kesempatan dan peluang untuk mewujudkan impiannya tersebut. Masyarakat saat ini sebetulnya sudah mulai sadar akan pentingnya melestarikan kawasan hulu Sungai Citarum. Pak Haji Qomar (58), salah satu anggota kelompok yang sudah bertani lebih dari 37 tahun ini menuturkan, “Semua program konservasi baik dari pemerintah maupun dari manapun pasti tujuannya baik yaitu ingin menyelamatkan Sungai Citarum, dan masyarakat pasti mau mendukungnya”. Hanya saja yang menjadi tantangan adalah bagimana mengubah kebiasaan petani yang sehari-harinya sudah terbiasa bercocok tanam sayuran kemudian disuruh menanam tanaman keras saja.
“Awalnya tidak mudah meyakinkan anggota kelompok”, ujar Nandang. “Ini masalah ekonomi, ketika ada luasan lahannya yang berkurang karena ditanami tanaman keras, atau karena lahannya berkurang akibat kemiringan lahan diatur dengan teras bangku atau guludan, maka hitung-hitungannya adalah rupiah,” tambahnya. Kekhawatiran petani adalah mereka akan kehilangan sebagian pendapatan dari kegiatan pertanian yang selama ini telah dilakukan.
Foto: Perbaikan kondisi lahan dilakukan dengan pembuatan terasering yang sesuai dengan kaidah konservasi. Tujuan dari pembuatan terasering ini adalah untuk mengurangi resiko terjadinya bahaya erosi ketika musim hujan tiba.
Hal senada juga disampaikan oleh Rohman (49) salah satu anggota kelompok Giri Tani, “Pemahaman petani itu beda-beda, yang mereka pahami adalah bahwa konsep konservasi dengan tegakan tinggi yang digabung dengan tanaman sayuran itu bertentangan. Karena tanaman sayur membutuhkan sinar matahari yang cukup banyak, padahal jika tanaman tegakan sudah tinggi bisa menghalangi tanaman sayuran mendapatkan sinar matahari dan akan mengganggu pertumbuhan”. Rohman berandai-andai jika saja di kawasan Kertasari ada rencana tata ruang minimal di tingkat desa yang bisa menjadi acuan pengaturan mana saja lahan-lahan yang boleh ditanami tanaman semusim dan mana yang harus dipertahankan sebagai kawasan lindung atau konservasi. “Jika aturannya jelas, tinggal bagaimana mengelolanya. Lahan yang sempit bisa dioptimalkan penggunaannya hingga hasil produksinya maksimal, sedangkan di lahan konservasi para petani juga jelas harus melakukan apa, tanaman apa saja yang boleh ditanam dan apa yang tidak”, katanya sambil menerawang.
Foto: Yadi Supiadi, Petugas Penyuluh Lapangan sedang memberikan pemahaman mengenai pemilihan bibit dan bagaimana cara menanam agar pohon dapat tumbuh dengan baik.
Anang Maghfur (42), salah seorang fasilitator dan pakar pertanian yang sudah berkecimpung lama dalam pembinaan petani, dan ditemui dalam kesempatan terpisah menerangkan bahwa Tata Ruang Pertanian pada hakekatnya adalah konsep penataan penggunaan lahan pertanian yang mengedepankan nilai konservasi untuk kelestarian dan keanekaragaman hayati. Dalam menerapkan kegiatan konservasi lahan terpadu ini sebaiknya memang dilandasi dengan konsep Tata Ruang Pertanian karena mempunyai:
1. Fungsi: Sebagai Pengelolaan Yang Mendukung Konservasi Tanah dan Air, serta
2. Manfaat: Untuk Mengatur Pengembangan Pemanfaatan Tanaman Yang Ada Di Masyarakat Setempat.
Berdasarkan Konsep Tata Ruang Pertanian, nilai ruang konservasi akan di bagi 3 yaitu (1) Kawasan Lindung; Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Zonasi Batasan Kawasan (2) Kawasan Budidaya; Kawasan yang dapat dikelola sebagai kebun campur atau lebih dikenal dengan konsep Agroforestry, (3) Kawasan Domisili; Penganekaragaman tanaman yang ada di pekarangan penduduk untuk kebutuhan konsumsi. Untuk meningkatkan pemahaman petani tentang bagaimana menerapkan kegiatan konservasi yang baik, dilakukan melalui kegiatan Sekolah Lapang. Dari sini petani diberikan pengetahuan mengenai bagaimana tata cara bertani menggunakan sistem organik, bagaimana pembuatan pupuk dan pestisida organik dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar lingkungan petani, serta tata cara konservasi yang benar dari mulai penyiapan lahannya melalui pengenalan beberapa macam bentuk terasering hingga pemilihan jenis tanamannya.
Foto: Hutan komunitas yang sudah mulai dirintis dengan menanam tanaman keras.
Di sela-sela tanaman tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija.
Selain itu petani yang terlibat dalam kegiatan ini juga mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai bagaimana melakukan kegiatan penyemaian bibit tanaman konservasi. Selain dapat menjadi sumber pendapatan sampingan karena bibit dapat dijual, kegiatan pembibitan ini juga bertujuan menyediakan cadangan bibit untuk penyulaman apabila ada tanaman yang kering atau mati. Yadi Supiadi, Koordinator PPL UPT Pacet dengan wilayah kerja 3 kecamatan yaitu Pacet, Ciparay dan Kertasari menuturkan bahwa tantangan terberat adalah mengubah kultur atau kebiasaan masyarakat yang memang sudah terbiasa melakukan kegiatan pertanian sayuran. “Kegiatan konservasi tidak bisa dilakukan secara instan, harus bertahap dan harus ada yang berani memulai. Mengawal kegiatan sampai berhasil harus tetap dilakukan”, jelasnya. “Kuncinya ada di monitoring dan pendampingan”, imbuhnya. Yadi yang sudah bekerja di wilayah ini semenjak tahun 2003 sangat paham bagaimana karakteristik petani di sini.
Kegiatan konservasi yang dilakukan oleh kelompok Giri Tani dan Raksa Bumi ini adalah kegiatan konvervasi terpadu dengan pengembangan usaha tani atau yang dikenal dengan istilah On Farm Development. Jenis kegiatannya sudah ditetapkan, namun dengan didampingi oleh Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM), kelompok dapat menyampaikan usulan kegiatannya disesuaikan dengan kesepakatan anggota melalui Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK).
Setelah lahan disiapkan, bibit tanamanpun mulai didatangkan. Para petani lebih senang menggunakan bibit lokal yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok petani penyemai yang ada di sekitar lokasi kegiatan. Alasannya, petani lebih percaya bahwa bibit lokal lebih kuat karena tidak memerlukan adaptasi lingkungan lagi dengan lahan yang akan ditanami. Di Wilayah Kertasari ini untuk mendapatkan bibit tanaman keras tidaklah sulit, sudah banyak kelompok-kelompok tani yang mengembangkan kegiatan penyemaian bibit tanaman keras, baik yang bekerja sama dengan pihak lain seperti Pemerintah, Perhutani, melalui dukungan Corporate Social Responsibility (CSR), ataupun sebagai usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik, paket kegiatan ini juga memberikan bantuan sapi. Harapannya selain mendapatkan nilai lebih dari pengembangan kegiatan peternakan, kotoran yang dihasilkan oleh sapi dapat diolah menjadi biogas untuk keperluan dapur sehari-hari dan sisanya dapat dijadikan pupuk organik. Masing-masing kelompok mendapatkan 3 ekor sapi dan juga membangun kandangnya. Masing-masing kandang harus dilengkapi dengan satu unit reaktor biogas sebagai sebuah sistem untuk pengolah limbah kotoran ternak. Biogas nampak sudah mulai berjalan walaupun belum dimanfaatkan sepenuhnya karena kapasitas produksinya yang masih terbatas. Sementara hasil olahan pupuk organik sudah mulai digunakan untuk menyuburkan tanaman.
“Tiga ekor sapi ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan kelompok, jadi sebagian masih didukung dengan pupuk kimia yang biasa petani gunakan”, kata Nandang. Terkadang mereka juga memanfaatkan urin dari ternak kelinci yang saat ini cukup berkembang di seputaran Kertasari. Tiap kelompok dibebaskan bagaimana cara mengelola ternak ini. Bahkan di Desa Cikembang untuk menggilir siapa yang harus mengurus ternak sistemnya seperti arisan, menggunakan undian yang dikocok. Nama yang keluar, maka dia harus mengurus sapi-sapi tersebut.
Bila ada hambatan atau permasalahan para anggota kelompok bertemu untuk mencari solusi. Nandang menyampaikan, ”Tidak harus satu atau dua minggu sekali. Jarak rumah antara anggota satu dengan lainnya cukup jauh, lagi pula kesibukan petani berbeda-beda. Tapi kami selalu siap jika ada anggota yang ingin berdiskusi”. Harapan para kelompok tani ini, program apapun untuk pelestarian Citarum harus ada monitoring dan evaluasinya, jika ada masalah solusinya harus dicari bersama-sama. Berbicara mengenai konservasi memang harus melibatkan banyak pihak, dan hasilnya tidak bisa dilihat secara cepat dan dalam waktu yang singkat. Butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk melihat hasilnya.
Dengan semakin meluasnya lahan kritis dan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi Sungai Citarum yang semakin mengkhawatirkan, tidak ada kata lain selain terus bersama-sama berpadu berupaya untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kertasari kembali hijau dan lestari.